![]() |
Anak-anak ini diajar tampil untuk baca do'a. Sebuah program pendidikan usia dini di tempat sederhana |
Bergidik
saya membaca artikel VOA yang berjudul Makin
Banyak Kaum Muda AS Tolak Ajaran Agama Tradisional yang tayang pada hari Senin 16 Juli 2012.
Berikut kutipannya:
Jajak pendapat oleh
Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs pada Universitas
Georgetown mendapati bahwa banyak
pemuda itu meninggalkan agama yang mereka anut sejak kecil, umumnya memilih
untuk tidak menganut agama tertentu. Sekitar seperempat malah tidak memeluk
agama apapun.
Masih
dalam artikel tersebut: Abigail Clauhs, mahasiswi jurusan agama pada
Universitas Boston pun mengamini hal ini sebagai gejala umum di kampusnya. Wuiiih seram ya.
Agama = Tidak Kacau
Saya
pribadi bersyukur, memiliki agama yang saya yakini tepat. Begitu banyak ombak
kehidupan yang bisa saya lalui meski dengan tertatih-tatih karena bekal agama
yang saya miliki. Beruntung saya tidak tercebur ke dalam ganasnya samudera
kehidupan dan disorak-sorai setan pun iblis – laknatullah.
Saya
pernah melalui guncangan yang amat dahsyat yang nyaris membuat kewarasan saya terganggu.
Alhamdulillah, guncangan itu mereda setelah saya duduk dan membaca lengkap
surah al-Baqarah dengan takzim hingga 3 jam lamanya. Saya pernah menyaksikan
keganasan ilmu hitam. Bersyukur Allah menolong dengan membuktikan betapa
ayat-ayat-Nya yang dibaca dengan penuh peresapan dan pengharapan bisa menolong di
saat sulit. Pun bertahan pada kekuatan keyakinan bisa menghantar pada ujung
ujian.
Saya
berulang kali menjalani persoalan hidup di luar logika, namun alhamdulillah
keyakinan yang berusaha saya genggam masih menjaga saya dalam ridha-Nya. Saya
pernah menyaksikan anak-anak sakit atau bermasalah dan ketika saya mendampingi
mereka sembari membacakan ayat-ayat suci-Nya, penyakit/masalah mereka perlahan
melenyap.
Ini
menambah keyakinan saya: masalah-masalah di luar logika saja bisa terjalani,
apalagi masalah yang logis?
Agama
saya adalah warisan dari orangtua. Seperti orang Indonesia kebanyakan, pada
zaman saya kecil, agama merupakan hal yang “sekadarnya”, berbeda dengan
sekarang di mana makin banyak orang yang memiliki pengetahuan agama yang bagus
dan ada banyak tempat untuk belajar ilmu agama. Dulu, di tahun 1980-an tak
demikian.
Seiring
berjalannya waktu, saya tiba pada pencarian jati diri dan peneguhan nilai-nilai
moral yang saya anut. Makin dalam pencarian saya, makin saya yakin bahwa agama
tradisional (meminjam istilah di artikel VOA itu) yang saya pegang bukan hanya
mengajarkan ritual fisik tetapi juga pedoman hidup. Bukan hanya mengajarkan
redaksi do’a memohon keselamatan dunia-akhirat, tetapi juga menyediakan
cara-caranya. Juga menyediakan resep-resep untuk bertahan di kondisi yang
paling krisis sekali pun.
Contoh-contoh
kehidupan orang saleh zaman dulu pun banyak. Mereka semua membuktikan
kedahsyatan berpegang kepada keyakinan. Sebut saja kisah nabi Ayyub (antara
lain ada dalam al-Qur’an an-Nisa: 163 dan al-Anbiya’: 83-84) yang diuji sakit
dalam waktu lama hingga dijauhi warga sekitar, dari semula kaya raya hingga tak
berharta dan kehilangan anak, hanya seorang istri yang masih ikhlas merawatnya.
Istrinya sampai harus menjual potongan rambutnya untuk mencari uang. Dengan
kekuatan kesabaran dan keyakinannya, Sang Maha Pencipta pun menyembuhkannya dan
mengembalikan hartanya[i].
Di
sekeliling kita pun masih banyak kisah orang-orang yang berhasil melalui
ranjau-ranjau dalam hidupnya. Saya menyaksikan seorang bapak yang benar-benar
menyandarkan hidupnya kepada Sang Pemilik Hidup. Sehari-harinya ia banyak
menolong orang yang sakit dan kesulitan, pendapatan tetapnya tak ada tetapi
kasih sayang Allah selalu berlimpah kepadanya. Ada saja jalan rezekinya. Bahkan
anak-anaknya bisa sarjana dan telah sukses meniti hidup masing-masing. Sungguh,
bila ditilik dengan akal sehat, seolah tak mungkin ia meraih semua yang ia
peroleh sekarang. Tetapi keyakinan dan keteguhannya dalam menjalankan keyakinan
yang tak pernah susut bahkan terus menggebu benar-benar menolongnya menghadapi
arus kehidupan dunia yang penuh godaan ini.
![]() |
Anak-anak yang tamat program baca al-Qur'an diberikan pernghargaan. Sebuah motivasi yang berharga bagi kehidupan beragama mereka. |
Potensi Ancaman
Bagian
lain artikel tersebut mengungkapkan:
Ia menambahkan,
"Salah satu hal yang kami dapati dalam laporan ini adalah para pemuda di
negara ini – berusia 18 sampai 24 tahun - benar-benar ingin mengubah wajah
agama di negara ini."
"Ada banyak
pergeseran, dan orang cenderung untuk tidak berkomitmen pada seperangkat
doktrin atau dogma yang ketat, meskipun mereka mungkin masih percaya
Tuhan," ujarnya lagi.
Wajah agama di
Amerika telah lama tampak seperti itu. Tetapi, menurut Jones, kajian Georgetown
itu menunjukkan para pemuda itu menolak agama yang tradisional dan lebih
menyukai kehidupan spiritual yang tidak terlalu mengikat.
Lagi-lagi
saya bergidik. Anak-anak muda yang menyebut dirinya “millennials” itu ingin menetapkan “agama” mereka sendiri? Dengan
aturan-aturan mereka sendiri? Bukankah ini mengerikan, menetapkan aturan “yang
tidak terlalu mengikat” sekehendak hati di usia semuda itu? Apalagi di era
internet ini, di mana bisa dibilang tak ada lagi sekat wilayah bagi para
pengguna internet dari segala penjuru dunia, pemikiran seperti ini bisa saja
meracuni pikiran para pemuda di tempat lain yang secara geografis terpisah jauh
dari Amerika!
Saya
melihat ini sebagai potensi ancaman bagi generasi kita. Kita betul-betul harus
membentengi diri dan anak-anak kita dari pemikiran seperti ini. Ini tugas berat
bagi para orangtua!
Pentingnya Peran
Orangtua
Pada
awalnya, mengajar nilai-nilai moral yang biasanya bersumber dari ajaran agama
adalah tanggung jawab orangtua. Pada awalnya ia berupa doktrin yang dogmatik.
Begitu pula dalam pengalaman saya sendiri, pada awalnya ajaran agama memang
harus diterima seperti itu. Secara perlahan, pencarian yang benar akan membawa
kepada pemahaman yang benar mengenai agama itu sendiri – yang tidak hanya sekadar
ritual tetapi juga pedoman hidup. Dan tak lain, tugas orangtua untuk memasukkan
pemahaman itu kepada anaknya (ya Allah, berilah kemudahan bagi saya untuk hal
ini, saya butuh
kemudahan dari-Mu).
![]() |
Pada awalnya, ajaran agama adalah doktrin dogmatis |
Mengenai
peran orangtua, mantan menteri pendidikan Amerika pernah mengemukakan kegelisahannya
menyaksikan kondisi keluarga di sana: “Kegagalan
pendidikan etika di sekolah-sekolah Amerika, di antaranya diakibatkan oleh
lingkungan dan kondisi keluarga yang tidak mendukung perkembangan anak. Di
tengah-tengah kita banyak keluarga dengan kedua orangtua yang sibuk bekerja.
Banyak pula keluarga yang dikuasai dan didominasi salah satu pihak, ayah atau
ibu ...”[ii]
Robert Coles[iii], penulis buku Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak, juga berpendapat bahwa peran orangtua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anaknya.
Robert
Coles banyak melakukan pertemuan dengan para orangtua di Amerika, termasuk
mereka yang memiliki anak usia remaja dan dewasa muda. Coles berkata, “Saya menceritakan tentang kesepian yang dirasakan oleh banyak orang
muda, walaupun seandainya mereka memiliki cukup banyak teman baik dan
kelihatannya berada di tengah-tengah kelimpahan. Ini merupakan kesepian yang
ada kaitannya dengan penilaian yang diterapkan pada diri sendiri: didorong dan
ditarik oleh serangkaian dorongan, hasrat, kecemasan, perasaan takut yang
sungguh tak mungkin dibagi kepada orang lain.”[iv]
Coles
banyak membagi kisah-kisah dalam buku ini yang makin memperkuat pentingnya
peran orangtua. Seorang muda yang sedang dilanda “kesepian” seperti yang
disebutkan di atas, mencari kenyamanan dari luar dirinya. Ada yang
mendapatkannya melalui narkotika ataupun dengan melakukan seks bebas. Adalah
tugas orangtua dalam membantu problema seperti ini. Pendekatan yang tepat
dibutuhkan sebab jika salah, alih-alih anak akan terbuka, mereka malah semakin
menjauh. Masalah sesungguhnya bukanlah dari luar diri sang anak melainkan dalam
dirinya sendiri. Ini membutuhkan penanganan yang tepat.
Di
bagian penutup bukunya, Coles menuturkan, “
... kaum remaja perlu mencari cara bagaimana menganggap tubuh mereka yang
memiliki kemampuan baru dan kehausan baru, dan juga berbagai minat dan pilihan
serta sikap yang terus-menerus ditimpakan kepada mereka, oleh sahabat, oleh
iklan, oleh bintang film, pembawa acara, penyanyi, pemusik, oleh pahlawan
olahraga. Bagaimana kita seharusnya, sebagai orangtua atau sebagai guru
(orangtua itu, sekali lagi, selalu menjadi guru juga) berusaha menjalankan
kewajiban sebaik mungkin untuk menyampaikan prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan serta nilai-nilai kita
kepada generasi berikutnya.”
Nah,
prinsip, keyakinan, ataupun nilai ini menurut
saya ada – komplit di dalam ajaran agama. Orangtua dituntut memiliki
pengetahuan agama yang memadai karenanya. Untuk menjawab kebutuhan anak-anak
kita, untuk menjawab tantangan zaman. Sungguh, bukan tanggung jawab yang ringan
karena semakin besar usia anak, orangtua dituntut untuk menaikkan level pengetahuannya.
Jika
di saat remaja/dewasa mudanya anak-anak memutuskan untuk meninggalkan ajaran
agama. Tentunya menjadi jauh lebih berat lagi tanggung jawab orangtua karena
anak-anak ini sudah semakin pandai beradu argumen. Padahal perjalanan hidup mereka
belum juga separuh jalan. Masih begitu banyak aral-rintangan yang akan mereka
lalui di kemudian hari. Dan pondasi agama yang kokoh untuk melaluinya adalah
solusinya.
Ya Allah, tolong beri kami kekuatan dalam membimbing anak-anak
kami.
0 komentar:
Posting Komentar